Tahukah anda cerita di
balik terciptanya sajak ‘FOOTPRINTS’ (Telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul : Jejak – Jejak kaki)?
Sajak tersebut telah
menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Namun tidak banyak orang
mengetahui siapa pengarang sajak itu. Juga tidak banyak orang tahu apa latar
belakang lahirnya sajak itu. Lebih-lebih lagi tidak banyak orang tahu bahwa
sajak yang berjudul ‘Jejak’ (aslinya : ‘Footprints’) sebenarnya adalah buah
pena masa berpacaran di suatu senja di tepi danau.
Pengarang sajak itu adalah
Margaret Fishback, seorang guru sekolah dasar Kristen untuk anak-anak Indian di
Kanada. Margaret sangat pendek dan kecil untuk ukuran orang Kanada. Tinggi
badannya hanya 147 cm. Tubuhnya ramping dan wajahnya halus seperti anak kecil.
Karena itu walaupun ia sudah dewasa dan sudah menjadi ibu guru ia sering diberi
karcis untuk anak-anak kalau berdiri di depan loket atau kalau naik bis.
Margaret dibesarkan dalam
keluarga yang bersuasana hangat dan penuh kasih. Namun ada beberapa peristiwa yang
terasa pahit dalam kenangan masa kecilnya. Yang pertama adalah pengalamannya
ketika ia menjadi murid kelas satu sekolah dasar. Ia mempunyai kenangan buruk
tentang gurunya. Margaret berlogat Jerman karena ayahnya berasal dari Jerman.
Lalu tiap kali Margaret melafalkan sebuah kata Bahasa Inggris dengan logat
Jerman jari-jari tangannya langsung dipukul oleh gurunya dengan sebuah tongkat
kayu. Tiap hari jari-jari tangan Margaret memar kemerah-merahan.’Jangan bicara
dengan logat Jerman. Pakai logat yang betul, kalau tidak ... !’ Itulah ancaman
dan amarah yang didengar Margaret setiap hari. Dan ia sungguh takut. ‘Tiap hari
aku berangkat ke sekolah dihantui oleh rasa takut. Aku heran mengapa aku
dimarahi. Apa salahku ? Apa salahnya orang berbicara dengan logat Jerman ? Baru
kemudian hari aku tahu bahwa pada waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia II,
sehingga orang Jerman dibenci di Amerika dan Kanada,’ ucap Margaret mengenang
masa kecilnya.
Kenangan pahit lain yang
diingat Margaret adalah tentang dua teman perempuannya di kelasnya. ‘Aku akrab
dengan semua teman dan mereka senang bermain dengan aku, kecuali dua orang
teman perempuan yang kebetulan berbadan besar. Kedua teman itu sering menjahati
aku. Untung ada seorang teman laki-laki yang selalu melindungi aku. Namun pada
suatu hari teman laki-laki itu tidak masuk ke sekolah. Lalu kedua teman
perempuan yang berbadan besar itu menjatuhkan aku dan duduk di atas perutku
sambil menggelitiki aku. Aku kehabisan nafas. Untung tiba-tiba ada orang yang
lewat sehingga aku dilepas. Langsung aku lari ketakutan sampai aku jatuh dan
pingsan. Selama beberapa hari aku terbaring sakit. Tetapi yang lebih parah
lagi, selama beberapa bulan aku ketakutan,’ kenang Margaret.
Juga tentang masa dewasanya
Margaret mempunyai pengalaman yang menakutkan. Pada suatu siang yang bercuaca
buruk, ketika ia sedang mengajar di kelas, tiba-tiba jendela terbuka dan petir
menyambar sekujur tubuh Margaret. Ia jatuh terpental di lantai. Setelah dirawat
di rumah sakit, ia tetap mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan. Urat
syarafnya terganggu sehingga ia sering bergetar. Bukan mustahil semua
pengalaman buruk itu turut mewarnai lahirnya sajak ‘Jejak’ ini, yang dikarang
oleh Margaret ketika ia sudah mempunyai tunangan yang bernama Paul. Hari itu
Margaret dan Paul berangkat menuju suatu tempat perkemahan di utara Toronto untuk memimpin
retret. Di tengah perjalanan, mereka melewati danau Echo yang indah. ‘Mari kita
jalan di pantai,’ usul Margaret. Dengan semangat mereka melepaskan sepatu lalu
berjalan bergandengan tangan di pantai pasir.
Ketika mereka kembali dan
berjalan ke arah mobil mereka, dengan jelas mereka mengenali dua pasang jejak
kaki mereka di pasir pantai. Namun di tempat-tempat tertentu gelombang air
telah menghapus satu pasang jejak itu. ‘Hai Paul, lihat, jejak kakiku hilang,’
seru Margaret. ‘Itukah mungkin yang akan terjadi dalam impian pernikahan kita?
Semua cita-cita kita mungkin akan lenyap disapu gelombang air,’ lirih Margaret.
‘Jangan berpikir begitu,’ protes Paul. ‘Aku malah melihat lambang yang indah.
Setelah kita menikah, yang semula dua akan menjadi satu. Lihat itu, di situ
jejak kaki kita masih ada lengkap dua pasang.’ Mereka berjalan terus. ‘Paul,
lihat, di sini jejakku hilang lagi.’ Paul menatap Margaret dengan tajam,
‘Margie jalan hidup kita dipelihara Tuhan.
Pada saat yang susah,
ketika kita sendiri tidak bisa berjalan, nanti Tuhan akan mengangkat kita.
Seperti begini...’ Lalu Paul mengangkat tubuh Margaret yang kecil dan ringan
itu dan memutar-mutarnya. Malam itu setibanya mereka di tempat retret, Margaret
yang adalah pengarang kawakan menggoreskan pena dan menuangkan ilham
pengalamannya tadi di pantai. Kalimat demi kalimat mengalir. Dicoretnya sebuah
kalimat, diubahnya kalimat yang lain. Ia berpikir, menulis, termenung, mencoret,
menulis lagi, termenung lagi, mencoret lagi.......Seolah-olah bermimpi, dalam
imajinasinya ia merasa berjalan bersama dengan Tuhan Yesus di tepi pantai.
Ketika berjalan kembali ia melihat dua pasang jejak kaki, satu pasang jejaknya
sendiri dan satu pasang jejak Tuhan. Tetapi... dan seterusnya. Margaret melihat
lonceng. Pukul 3 pagi ! Cepat-cepat diselesaikannya tulisannya, lalu ia tidur.
Keesokan harinya, begitu bangun, ia langsung membaca ulang tulisannya. Ah,
belum ada judulnya. Margaret berpikir sejenak lalu membubuhkan judul ‘Aku
Bermimpi’. Ia mengubah beberapa kata dan kalimat. Dan lahirlah sajak yang
sekarang kita kenal dengan judul ‘Jejak’. Pada hari itu juga dalam kebaktian,
sajak itu dibacakan Paul. Paul berkata, ‘... ada saat di mana kita merasa seolah-olah
Tuhan meninggalkan kita. Musibah menimpa kita dan jalan hidup kita begitu
sulit. Kita bertanya mengapa Tuhan tidak menolong kita. Sebenarnya Tuhan sedang
menolong kita. Tuhan sedang mengangkat kita.’ Lalu Paul membacakan sajak karya
Margaret :
One night I dreamed a dream.
I was walking along the beach with my Lord.
Across the dark sky flashed scenes from my life.
For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand,
One belong to me and one to my Lord.
When the last scene of my life shot before me,
I looked back at the footprints in the sand.
There was only one set of footprints.
I realized that this was the lowest and the saddest times of my life.
This always bothered me and I questioned the Lord about my dilemma.
‘Lord, You told me when I decided to follow,
You would walk and talk with me all the way.
But I'm aware that during the most troublesome times of my life,
There is only one set of footprints.
I just don't understand why, when I need You most, You leave me.’
He whispered, ‘My precious child, I love you and will never leave you never, ever, during your trials and testings.
When you saw only one set of footprints,
It was then that I carried you.’
I was walking along the beach with my Lord.
Across the dark sky flashed scenes from my life.
For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand,
One belong to me and one to my Lord.
When the last scene of my life shot before me,
I looked back at the footprints in the sand.
There was only one set of footprints.
I realized that this was the lowest and the saddest times of my life.
This always bothered me and I questioned the Lord about my dilemma.
‘Lord, You told me when I decided to follow,
You would walk and talk with me all the way.
But I'm aware that during the most troublesome times of my life,
There is only one set of footprints.
I just don't understand why, when I need You most, You leave me.’
He whispered, ‘My precious child, I love you and will never leave you never, ever, during your trials and testings.
When you saw only one set of footprints,
It was then that I carried you.’
Seluruh peserta retret duduk
terpaku mendengarnya. Mereka termenung menyimak kedalaman arti yang terkandung
sajak itu. Sekarangpun tiap orang termenung setiap kali membaca sajak itu.
Sajak itu mengajak kita menelusuri perjalanan hidup kita. Dalam perjalanan itu
telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi
pada saat-saat dimana musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta
berbahaya, ternyata yang tampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kali kita
tidak tampak, padahal telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas. Mana telapak
kaki kita ? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada saat-saat seperti itu kita
sedang diangkat dan digendong Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar